Oleh : Den Baguse Solo
PLAK… Tamparan keras entah
yang keberapa kali mendarat ke pipiku. Darah segar terus mengucur dari
pelipis mata kananku. Aku tak bisa mengusapnya karena kedua tanganku
diborgol ke belakang.
“Kamu tetap tidak mau ngaku?!!”
bentak anggota kepolisian Densus 88 yang berbadan tegap dan berkacamata
hitam menginterogasi aku. Sudah berapa kali aku katakan bahwa aku tak
mengetahui keberadaan sahabatku, Kardi alias Qosim yang menjadi target
Densus 88 karena tersangkut masalah teroris. Dia diduga perakit bom
kelompok teroris Solo. Dia juga diduga tergabung dalam jaringan Harakah
Sunni untuk Masyarakat Indonesia (HASMI) pimpinan Abu Ubaid.
Kardi
adalah temanku dari kecil. Karena kami bertetangga dan seumuran. Dari
sekolah Dasar sampai SMA kami selalu satu sekolahan. Kami sudah seperti
saudara kandung sendiri. Kalau ada apa-apa kami selalu bersama.
Setelah lulus SMA kami bekerja di tempat berbeda. Aku bekerja di salah
satu perusahaan operator telekomunikasi selular sebagai sales, sedang
dia bekerja di bengkel. Karena dia memang hobi dengan otomotif. Walau
kami bekerja di tempat berbeda, setiap hari sepulang bekerja pasti kami
bertemu. Entah aku yang ke rumahnya atau dia ke rumahku. Sering kalau
malam kami pergi ke angkringan hanya untuk sekedar menikmati teh hangat
dan makan beberapa gorengan.
“Sehari sebelum ledakan,
Qosim bertemu kamu. Kamu pasti tahu dimana ia berada.” kata polisi
dengan nada yang lebih halus dibanding sebelumnya.
Aku
hanya menggeleng-gelengkan kepala. Bibirku terasa perih untuk mengucap
karena telah banyak terkena bogem atau tamparan dari polisi.
“Aaaaaaagh…” tiba-tiba ada anggota kepolisian yang lain di belakangku yang menyulutkan rokok di telapak tanganku.
“Nggak mau ngaku..!!” bentak polisi yang menyulut rokok.
Aku
memang tidak tahu keberadaannya. Sehari sebelum ledakan memang kami
bertemu. Tapi, hanya ngobrol seperti biasa dan tidak menyinggung
masalah bom atau teror. Setelah itu kami pulang ke rumah masing-masing.
“Sudah cukup. Kita kasih waktu dia dulu untuk mengembalikan energinya.” kata polisi yang berkacamata hitam.
Polisi
yang berada di belakangku menjambak rambutku dan menarik ke atas agar
kepalaku tegak. Dia memandangku dengan sorot mata yang garang kemudian
melepaskan genggamannya yang membuat kepalaku kembali tertunduk.
Kemudian dia meninggalkan ruangan interogasi bersama polisi yang
berkacamata hitam tadi.
Kenapa ini semua terjadi?
Kenapa si Kardi yang dulu jarang sholat itu menempuh jalan seperti ini?
Jalan menuju syurga, katanya. Dia dulu pernah mengajakku untuk
bergabung dengan jamaah pengajiaannya di masjid Baitul Makmur. Tapi,
aku hanya ikut tiga kali pengajian karena tidak cocok dengan apa yang
disampaikan ustadznya. Lama kelamaan materi pengajian mengarah ke
peperangan atau jihad. Ketika mengikuti pengajian seakan-akan dunia ini
dalam keadaan genting, darurat. Tapi ketika selesai pengajian dan
berada di lingkungan, sangat berbeda dengan apa yang disampaikan.
Suasana sangat tenang. Masyarakat hidup damai. Tidak ada konflik. Ahh..
kemudian aku putuskan tidak mengikuti pengajian.
“Mau sholat apa ndak mas?” tanya seorang anggota polisi yang baru saja masuk.
Aku
geleng-geleng kepala. Tak mungkin aku sholat dalam keadaan lemah
begini. Tuhan Maha Tahu dan Pengampun. Masih kurasakan perih dibibir
ini. Entah bagaimana bentuk bibirku sekarang. Seperti bibirnya om Tukul
atau bibir onta. Yang jelas aku merasakan bibirku lebam atau abuh.
Kemudian
polisi itu keluar dari ruangan meninggalkan aku sendiri. Ternyata
masih ada polisi yang saleh yang mengingatkan untuk sholat. Batinku.
Semoga saja ada polisi yang juga mengingatkan temannya untuk tidak
korupsi.
“Polisi itu kafir.. karena menjadi alat dari
pemerintahan yang kafir. Tidak berhukum pada hukum Allah. Malah
berhukum pada produk orang Belanda yang jelas-jelas kafir. Kalau kafir
berarti halal darahnya..” kata Kardi ketika berdebat denganku masalah
demokrasi di Indonesia kira-kira sebulan yang lalu.
Aku pun menjawab dengan argumenku yang tentunya bertentangan dengan argumen Kardi. Sampai akhirnya aku menjawab.
“Kalau
kamu menganggap pemerintah ini kafir kenapa kamu mau hidup di negara
kafir? Ndak ngungsi aja ke Arab Saudi sana. Jadi TKI juga ndak masalah.. hahaha..”
Kardi
hanya diam lalu ngeloyor pergi. Ia memang selalu begitu. Kalau sudah
tidak sepakat ya pergi daripada dilanjutkan, bisa-bisa kami bertengkar.
“Ngeeek….” kudengar suara pintu terbuka. Oh, mereka sudah kembali lagi. Mau mengintrogasiku lagi mungkin.
“Kamu
kenal orang ini?” Tanya polisi yang menyulutkan rokoknya ke telapakku
tadi sambil menyodorkan foto ustadz Hanafi. Ustadz yang biasa mengisi
pengajian di masjid Baitul Makmur.
Aku mengangguk pelan-pelan, kemudian menggeleng. Maksudku aku tahu dia tapi tidak begitu kenal.
“U..uustadz Haa..n..naafi..”
“Dia
juga buron. Seminggu sebelum peristiwa bom di Mall kemarin dia tidak
mengisi pengajian di masjid Baitul Makmur. Dia diduga sebagai pelatih
pelatihan militer dan si Qosim yang mengajari perakitan bom yang berada
di Gunung Wilis, Madiun.” terang polisi.
Ustadz
Hanafi memang pernah berada di Afganistan untuk belajar teknik
peperangan. Kalau ia di Indonesia melatih peperangan aku sudah ndak kaget.
“Qosim
hoby otomotif. Dari hobinya itu ia dengan mudah merancang bahan
peledak. Dengan bantuan internet ia mengembangkan bakatnya membuat bom.
Sedang bahan-bahan kimia yang membeli adalah Yance alias Pitik alias
Toyib.”
“Toyib sudah tewas dalam penggerebekan dikontrakannya tadi pagi.” lanjut polisi tadi.
“Sekarang.
Setelah kami selidiki secara mendetail, kamu tidak ada keterlibatannya
dalam jaringan ini. Kami bebaskan. Dengan catatan bila mengetahui
keberadaan Qosim segera beritahu kami.”
Alhamdulillah,
Yaa Allah.. Akhirnya, aku bisa keluar dari neraka ini..sudah
semalam-sehari aku diinterogassi dan mengalami siksaan-siksaan kecil
untuk mengorek keterangan dariku. Untuk mengetahui keberadaan
sahabatku, Kardi yang aku sendiri tak tahu dimana ia sekarang.
Setelah
itu aku diserahkan kepada seorang pegawai kepolisian lainnya untuk
dirawat luka-lukaku. Setelah itu, aku diperbolehkan pulang. Untung
waktu sudah malam hari. Jadi, tak akan banyak yang melihatku.
******
Sudah
lima hari ini aku tak keluar rumah. Selain kondisi fisikku yang belum
baik, aku sudah tidak bekerja lagi sebagai sales. Aku sudah dikeluarkan
setelah mereka tahu aku ditangkap polisi Densus 88 saat kembali ke
kantor sore hari setelah bom meledak.
Aku heran.
Mengapa polisi begitu sigap, tanggap dan cepat dalam menangkap para
terduga teroris. Sedang mereka terkesan lamban dalam menangkap para
terduga koruptor. Padahal sama-sama bahayanya. Kalau teroris bisa
merusak ketentraman masyarakat sedang koruptor merusak kesejahteraan
masyarakat.
“If I let you go I will never know what's my life would be……”
itu bukan suara lagu MP3 Westlife. Tapi nada dering handphoneku. Lagu
itu mempunyai kenangan tersendiri bagiku. Siapa yang telpon subuh-subuh
gini? Tak ada nomor. Orang iseng kah?
Aku angkat.
“Halo” sapaku.
“Sim, ini aku Kardi.”
Kaget bukan kepalang, orang yang menjadi buronan Polisi, sahabatku yang menelepon. Aku masih ndak percaya. Ada apa ia menelepon. Haruskah aku beritahu polisi jika aku tahu dimana ia sekarang.
“Nanti sore jam 3 aku tunggu kamu di tempat pertama kali kita jatuh cinta pada cewek yang sama. Penting. Wassalamu’alaikum.”
Kardi langsung menutup teleponnya. Aku mau telpon balik, tapi dia menghubungi aku pake private number. Tempat pertama kali jatuh cinta pada cewek yang sama?
Stadion
Manahan. Ya, di stadion. Waktu itu kami menonton pertandingan Persis
Solo melawan PSIS Semarang. Di tribun timur, B7. Kami memang suka
menonton pertandingan sepakbola di stadion. Terlebih jika ada
pertandingan klub-klub besar yang bertanding di Manahan. Dalam setiap
pertandingan pasti ada yang jualan asongan ke tribun. Erni, salah satu
penjualnya. Ia berjualan arem-arem, tahu, rokok bersama kedua orang
tuanya. Kalau tidak ada pertandingan mereka jualan nasi kucing di timur
stadion Manahan. Erni, gadis berumur 16 tahun sama seperti kami. Masih
duduk di bangku SMA. Ia berparas manis. Rambut panjang dan lurus.
Pantas saja kalau aku dan Kardi ingin merebut hatinya. Setelah itu,
kami sering mampir ke angkringan HIKnya sepulang kerja. Tapi, setelah
lulus SMA dia dijodohkan oleh orangtuanya. Tentu saja kami patah hati.
Hehe..
Lalu kenapa Kardi memilih ketemu di stadion? Ternyata nanti sore ada pertandingan big match
antara Persija Jakarta dan Arema Indonesia. Persija memakai stadion
Manahan sebagai kandang karena stadion Gelora Bung Karno untuk sementara
tidak diperbolehkan dipakai untuk pertandingan sepakbola. Selain itu,
Kardi ingin pertemuan ini tidak dicurigai dan diketahui orang. Karena
pasti di stadion banyak orang. Jadi, kedatangan Kardi sebagai buron
teroris tidak akan diketahui. Pintar juga sahabatku ini.
*****
Waktu menunjukkan pukul 13.30 WIB. Saatnya aku bersiap-siap menuju stadion dengan memakai atribut Pasoepati lengkap.
Suasana
stadion sangat rame dengan supporter-suporter dari dua kesebelasan
ditambah supporter tuan rumah, Pasoepati. Suara genderang dan terompet
membahana diluar stadion dan di dalam stadion.
Aku beli tiket di
depan tribun B7. Kemudian aku langsung masuk. Kulihat di dalam sudah
penuh dengan supporter. Biasanya di tribun B7 untuk supporter tuan
rumah alias Pasoepati bila ada laga dari klub luar yang bermain di
Solo.aku nyari tempat duduk yang dulu aku sama Kardi nonton bareng. Ya,
disitu aku lihat belum ada yang duduk. Aku langsung duduk disitu dan
kulihat orang sampingku juga memakai atribut Pasoepati lengkap dengan
syal dan topi. Tapi, ia memakai kacamata hitam.
“Stt.. ini aku, Sim. Kardi.” Bisik orang yang duduk disampingku.
Langsung aku peluk begitu mengetahui bahwa yang duduk disampingku benar-benar Kardi.
“Sudah..jangan lebay gitu. Lepasin. Dicurigai orang ntar dikira kita homo..” Lanjut Kardi
Aku pun melepaskan dekapanku.
“Kemana aja kamu. Orangtua kamu khawatir.” Tanyaku bisik.
“Oleh
karena itu aku ketemu kamu disini. Ini aku titip surat buat bapak ibu.
Intinya aku baik-baik saja. Ibu jangan khawatir. Kalau aku dating ke
rumah pasti disana dijaga aparat.” Kardi menjelaskan alasannya ketemu
aku.
“Kenapa kamu tidak menyerahkan diri saja, Di..” bujukku.
DOORRR….
Terdengar suara tembakan dari arah atas tribun kami. Kardi merintih
kesakitan. Ternyata sasaran tembaknya adalah Kardi. Ia terkena tembakan
di sebelah kanan punggungnya. Orang-orang pada lari ketakukan. Ada
yang tiarap dan aku pun juga tiarap. Aku lihat Kardi membalikkan badan
dan kemudian mengeluarkan senjata dari balik kaosnya. Ia menembak ke
arah tembakan tadi dan kena. Tapi, dari arah bawah tribun telah banyak
aparat kepolisian dari Densus 88 yang siap membidikkan tembakan. Salah
satu dari mereka menembak Kardi.
DOORR..DOOR.. dua kali
tembakan. Dan si Kardi pun jatuh tak berdaya bersimbah darah. Aparat
mulai mendekat ke arah Kardi. Aku lihat dia sudah tidak bernafas lagi.
“Aku ingin mati syahid.” Kata kardi ketika kami kongkow di angkringan depan rumah kami.
“Mati
syahid yang gimana? Kan banyak macamnya? Mati tenggelam, mati
kerubuhan, mati karena sakit perut, mati karena melahirkan. Semua mati
syahid” jawabku. Walau aku sudah tahu yang dimaksud Kardi adalah mati
dalam peperangan.
“Ya mati dalam rangka membela agama Allah, to.. ”
Oh,
Kardi sahabatku. Ia meninggalkan dunia ini di depan mataku dengan cara
yang tragis. Ya Allah. Semoga Engkau mengampuni dosa-dosanya.
“Sim,
al-Qur’an sendiri bilang bahwa orang Nasrani dan Yahudi tidak akan
rela terhadap Islam.. Ngapain kita kerjasama dengan mereka. Malah mau
diperbudak mereka. Jadi bawahan.” Komentar Kardi ketika aku diterima
kerja di kantor operator selular yang memang bos nya adalah non-muslim.
Aku hanya berpegang pada seorang ulama’ yang mengatakan bahwa al-jihadu fil ‘ashril hadist laisa huwa an namuta fi sabilillah. Bal an nahya fi sabilillah. Jihad dizaman modern adalah bukan kita mati dijalan Allah. akan tetapi hidup bersama-sama di jalan Allah.
Aparat
kemudian membawa jasad Kardi alias Qosim, sahabatku yang menjadi buron
densus 88. Suara genderang drum dan terompet di stadion yang semula
bersahut-sahutan menjadi hening. Sepi… Ternyata aku dibebaskan oleh
polisi untuk mengetahui keberadaan Kardi. Dan semenjak itu, aku selalu
di pantau. Sampai aku bertemu si Kardi dan ia menghembuskan nafas
terakhirnya. Selamat jalan sahabatku….
Bajul kesupen, 7 Maret 2013
Selasa, 08 Oktober 2013
Senin, 07 Oktober 2013
Ombak Kemunafikan
Malam tlah larut dalam kegelapannya
aku cuma terpana melihat angin berhembus
menyibakkan rambutnya yang hitam
tak ada awan
pun tak ada sinar rembulan
Gemerlap bintang pun tak hadir
dalam pandangan mata
hanya ku lihat orang yang asyik dengan perhiasan mereka
cuma ku dengar tawa orang kaya
rintih tangis kaum papa
Hening, sungguh hening di tepi laut
oleh adanya beberapa kura yang menepi
untuk mengeluarkan telur mereka
atau hanya sekedar menjenguk bakal bayi mereka
Dalam sanggarku, aku hanya cerita
isi waktu tanpa kata
Ku jitak nyamuk yang nempel di dahi
sungguh sialan manusia penuh permusuhan
bahkan nyamuk pun seakan dendam
kedamaian mana ada bila manusia
masih selalu memperbarui senjata?
keadilan mana ada bila manusia
masih selalu merusak fakta?
kejujuran mana ada bila manusia
masih selalu berbelit dengan kata?
Aku geli melihat mereka
kata-kata mereka bagai ombak
tapi kehidupan mereka bagai rawa
Kamar senja, 07 Oktober 2013
aku cuma terpana melihat angin berhembus
menyibakkan rambutnya yang hitam
tak ada awan
pun tak ada sinar rembulan
Gemerlap bintang pun tak hadir
dalam pandangan mata
hanya ku lihat orang yang asyik dengan perhiasan mereka
cuma ku dengar tawa orang kaya
rintih tangis kaum papa
Hening, sungguh hening di tepi laut
oleh adanya beberapa kura yang menepi
untuk mengeluarkan telur mereka
atau hanya sekedar menjenguk bakal bayi mereka
Dalam sanggarku, aku hanya cerita
isi waktu tanpa kata
Ku jitak nyamuk yang nempel di dahi
sungguh sialan manusia penuh permusuhan
bahkan nyamuk pun seakan dendam
kedamaian mana ada bila manusia
masih selalu memperbarui senjata?
keadilan mana ada bila manusia
masih selalu merusak fakta?
kejujuran mana ada bila manusia
masih selalu berbelit dengan kata?
Aku geli melihat mereka
kata-kata mereka bagai ombak
tapi kehidupan mereka bagai rawa
Kamar senja, 07 Oktober 2013
Langganan:
Postingan (Atom)