Oleh. Den Hafidz Khan
SUMINTEN. Itulah namaku. Nama asli pemberian kedua orangtuaku sejak lahir. Aku sendiri tak tahu apa arti dari namaku. Bagiku nama tidaklah begitu penting. Yang penting adalah perilaku kita sehari-hari. Buat apa punya nama bagus tapi kelakuannya tidak sesuai dengan namanya. Punya nama Muhammad tapi hobi mabuk-mabukan. Punya nama Nasruddin tapi sering maling ayam tetangga. Suminten. Aku suka nama itu. Tapi kebanyakan teman-teman memanggil aku dengan nama Intan. Biar gaul katanya. Tapi aslinya tetap Suminten. Suminten. Kalau mendengar namaku mungkin anda akan mengira aku berwajah pas-pasan atau tidak menarik sama sekali. Dugaan anda keliru. Aku berparas cantik, kulit putih dan manis. Itu kata orang-orang yang melihatku. Bukannya aku menyombongkan kecantikanku. Karena orang-orang yang mengatakan seperti itu. Kalau aku, cantik itu anugerah dari Tuhan yang suatu saat bisa diambil kapan saja Dia mau. Kalau sekarang aku cantik, besok bisa saja aku keriput.
Lagi, kalau anda mendengar namaku, Suminten, pasti anda akan mengira bahwa aku adalah orang yang dilahirkan dari keluarga yang hidupnya pas-pasan atau keluarga yang kurang mampu. Kalau ini dugaan anda benar. Aku anak tunggal dari keluarga miskin. Ayahku yang sudah tua dan sakit-sakitan sehingga tidak bisa bekerja lagi untuk menafkahi keluarga. Sehingga tulang pungung keluarga kami adalah emak dan aku. Emak adalah seorang bisnisman eh bisniswomen alias jualan jamu gendong keliling kampung. Begitu juga dengan aku. Sepulang sekolah atau jika liburan sekolah aku selalu jualan jamu. Bedanya kalau emak jualan dengan digendong, aku menyesuaikan perkembangan zaman, memakai sepeda onthel mini punyaku satu-satunya. Tempat duduk belakang sepeda aku taruh bronjong. Tempat yang kanan untuk botol-botol jamu dan yang kiri aku isi ember untuk mencuci gelas yang telah terpakai. Teman-teman sekolahku sudah banyak yang tahu pekerjaanku ini. Awalnya mereka ada yang merendahkan aku, merasa iba, bahkan ada yang tidak percaya cantik-cantik kok jualan jamu. Tapi, lama kelamaan mereka maklum setelah melihat kondisi keluargaku saat ini.
“Oee..!!” gertak Santi kawan kelasku dari belakang. Huft, setengah kaget juga.
“Ngelamunin apa sih?” kata Santi seakan-akan ia ingin tahu atau setengah ngeledek.
“Ndak melamun. Cuma melihat pemandangan taman aja.” Kataku sekenanya. Padahal aku sedang memikirkan kondisi emak yang sedikit ndak enak badan hari ini tapi dia paksain berjualan jamu.
“Emak ndak usah jualan dulu hari ini. Biar Inten yang jualan. Inten bolos sekolah hari ini ndak apa-apa asal kondisi emak kembali normal.” Ku rayu emak agar istirahat dirumah dulu hari ini. Tapi, ia tetap nekat.
“Inten tetap sekolah. Tidak boleh membolos. Nanti ketinggalan pelajaran. Apalagi sebentar lagi Inten akan menghadapi ujian nasional. Biar emak jualan. Emak masih sanggup..” pinta emak sambil meletakkan botol-botol jamu ke dalam bakulnya.
"Nanti kalo emak ndak kuat gimana? Trus emak terjatuh? malah nyusahin orang-orang, kan?" aku tentu saja khawatir klau terjadi apa-apa pada emak.
"Insya Allah emak ndak apa-apa. Emak kuat. Udah sana buruan mandi..!!"
*****
"Teett..Teet.." bel sekolah berbunyi tanda waktu istirahat sudah habis.
Segera aku dan Santi masuk ke kelas. Kebetulan Santi adalah teman sebangkuku dan ia sahabat aku.
“Silahkan masuk nona manis..” sambut Toni di depan pintu kelas sambil menunjukkan jempol tangan kanannya tanda mempersilahkan. Toni adalah ketua kelasku. Ia tidak begitu pandai. Tapi, ia rajin jika ada kegiatan-kegiatan sekolah.
Aku hanya tersenyum mendapat ‘sambutan’ dari Toni. Sambutan yang mungkin aku saja yang ia sapa. Soalnya dia dulu pernah naksir aku waktu kelas satu. Ia pernah menyatakan rasa sukanya padaku. Tapi aku menolak. Bukan karena dia tidak tampan atau tidak baik. Karena aku tak ingin pacaran. Kegiatanku sudah padat. Pulang sekolah aku harus menjual jamu keliling kampung. So, tak sempat meluangkan waktu untuk pergi bersama cowok. Walau sebenarnya aku bisa memanfaatkan kecantikanku untuk cowok-cowok yang berdompet tebal. Aku tak mau memanfaatkan kesempatan itu. Aku hanya bangga dengan hasil jerih payahku sendiri. Hasil peras keringatku sendiri. Lagian, aku paling tak suka jika disebut cewek matre. Jika ada cowok yang mendekat aku biasanya ia membeli jamuku. Beli jamu segelas, bicaranya setengah jam. Paling menjengkelkan.
“Awas, minggir..minggir.. kasih jalan buat mpok jamu kita.” Panjul, si preman kelas alias siswa paling bandel di kelas.
“Ratu kecantikan gitu loh..” sahutku.
“Ha..ha..haa… Ratu kecantikan yang setiap hari minum jamu galian rapet..” ledek Panjul lagi.
“ Galian rapet pala loe..Galian kubur buat ngubur body gembur loe..” aku tak mau kalah dengan ledekan Panjul yang memang mempunyai badan ‘gedhe’. Ledek meledek sudah hal yang biasa dikelasku. Hanya sekedar meledek. Tak sampai tersimpan dendam.
“Uhui..tambah cantik aja kalau marah..” lagi-lagi Panjul balik memuji.
Suasana hening ketika bu Ratih memasuki kelas. Hari ini jam terakhir, pelajaran Biologi. Aku suka pelajaran Biologi dijadwalkan pas jam akhir. Karena pelajaran Biologi menarik tidak membuat ngantuk apalagi cara penyampaian bu Ratih yang bagus dan diselingi guyon.
Tapi kali ini konsentrasiku tidak fokus ke pelajaran. Aku ingat emak. Semoga tidak terjadi apa-apa padanya.
“Inten harus meneruskan sekolah. Emak masih kuat membiayai segala keperluan belajar Inten.” Kata emak ketika aku lulus SMP dan berencana tidak meneruskan sekolah karena faktor ekonomi keluarga. Sebab saat itu bapakku sudah sakit-sakitan. Tidak bisa bekerja.
“Emak hanya ingin besok Inten mudah mencari pekerjaan yang layak. Lihat saja sekarang ini lowongan pekerjaan yang dibutuhkan minimal lulusan SMA.” lanjut emak.
“Bukan hanya itu saja. Emak ingin menghilangkan kebodohan dalam diri Inten. Biar Inten jadi orang pintar. Walau emak dan bapak bodoh. Ya, kamu, anakku harus pintar.” Kata emak sambil memelukku.
Pelukan kasih yang paling nikmat dirasakan di dunia ini. Pelukan seorang ibu. Hmm.. tak ada yang bisa menandingi belaian dan pelukan seorang ibu.
“Iya, mak. Siapa yang tak ingin menjadi orang pintar. Inten pingiiiin.. tapi, nanti apakah uang emak mencukupi untuk membiayai sekolah Inten. Padahal bapak juga butuh banyak biaya perawatan?”
“Kalau kita tawakkal, pasti Allah akan member jalan keluar. Emak yakin uang emak cukup.” Jelas emak.
“Kalau seumpama Inten juga jualan jamu seperti emak gimana?” spontan terbersit dalam anganku keinginan membantu emak menjual jamu keliling.
“Jualan jamu gendong keliling?”
“Iya, mak. Tapi, ndak gendong. Inten nanti pake sepeda. ”
“Ndak. Inten sekolah saja. Memikirkan sekolah. Belajar. Emak saja yang menanggung biaya.” Jawab emak.
“Iya, mak. Kan Inten bisa nyambi jualan jamu sepulang sekolah. Atau pas sekolah libur. Ya, itung-itung membantu emak mencari nafkah gitu.”
“Nanti belajarmu terganggu?” kata emak.
“Insya Allah Inten bisa mengatur waktu, mak.” Kayaknya emak setuju dengan keinginanku. Andai emak memperbolehkan, aku lega karena bisa mengurangi beban emak dalam mencari nafkah buat keluarga kami.
*****
Teeettt..teeett..
Bel sekolah itu membuyarkan lamunanku. Akhirnya waktu pulang tiba. Bergegas-gegas aku meletakkan bukuku ke dalam tas. Berdoa bersama dan pulang.
Seperti biasa, Santi selalu bersamaku ketika pulang sekolah. Kebetulan aku dan Santi satu desa. Jarak antara sekolahan dengan rumah pun tak terlalu jauh. Cukup jalan kaki hanya menghabiskan waktu 15 menit.
“Hei, Tan. Jangan lupa ntar sore ada pertandingan sepakbola di lapangan kecamatan Lawangsari. Ntar jualan sana pasti rame.” Ifan adik kelasku ngasih kabar. Dia adalah salah seorang informanku tentang lokasi-lokasi di daerah yang sedang ada kegiatan. Khususnya olahraga. Biasanya jamu laku keras ditempat-tempat seperti itu.
“Oke.. Thanks Fan infonya. Ntar aku meluncur kesana.”
“Gue ikut ya Tan? Ya..Ya..” bujuk Santi yang ingin menemaniku jualan. Udah sering sebenarnya dia bantuin aku jualan keliling. Dia ngikutin aku memakai sepeda sendiri.
Aku cuma menganggukkan kepala.
“Eh, ada apa itu Tan dirumah loe? Kok rame banget.” tanya Santi ketika mengetahui dirumahku banyak berkerumun para tetangga.
“Mana gue tau.”
Aku langsung lari menuju rumah. Ada apa ini? Kenapa orang-orang wajahnya tak ada yang menunjukkan wajah gembira. Semua tampak sedih. Ada apa gerangan? Apa bapakku sakitnya kambuh atau.. jangan-jangan.ah, tak mungkin..aku masih butuh bapak. Walaupun sakit-sakitan tapi dia sabar dengan penyakitnya dan selalu menasehati aku dengan nasehat-nasehatnya yang menyejukkan hati. Bapakku tak pernah mengeluh. Dalam sakitnya selalu ia gunakan untuk dzikir, menyebut asma Tuhan. Mungkin orang yang mengalami sakit seperti bapakku selama bertahun-tahun tak akan bisa sabar. Ngeri juga ketika mendengar ada orang yang mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri karena tidak kuat terus menerus merasakan penderitaan sakit. Ah, untungnya aku diberi seorang bapak yang sangat sabar dalam menjalani cobaan hidup ini.
“Sabar ya Ten..” ujar seorang tetanggaku dengan suara lirih.
Ah, perasaanku sudah ndak karuan. Pasti ada berita buruk dengan keluargaku. Atau mungkin emak? Soalnya tadi pagi emak mengeluh sakit tapi tetap nekat berjualan jamu. Semoga dugaanku keliru semua. Aku masih butuh mereka. Butuh kasih sayang mereka..
Pak RT keluar dari rumahku ketika aku mau masuk. Beliau langsung menggandeng tanganku. Dan menarik aku untuk duduk di bangku depan rumah.
Ya Allah. Ada apa ini? Pak RT keliatan pucet banget. Ada apa dengan bapakku? Ada apa dengan emakku? Kenapa emak tak keluar menggandeng tanganku dan duduk disini. Apa menemani bapak? Ya Allah…
SELAMAT JALAN EMAK..!!
oleh. Den Hafidz Khan
“Apa?? E..ee..mak meninggal? Nggak mungkin.. Ndak mungkin..”
“Sudah..Tabahkan hatimu, Ten. Emakmu dipanggil Allah, brarti Allah sayang sama emak Inten.” Pak RT mencoba menenangkan hatiku.
Aku langsung menangis sekeras-kerasnya dan masuk ke rumah. Tak peduli banyak orang. Tangisanku semakin kencang ketika aku berada disamping emak. Aku peluk dia, aku ciumi wajahnya yang tersenyum manis seperti melihat sesuatu yang belum pernah emak lihat di dunia ini. Aku usap wajahnya. Wajah seorang manusia yang berjuang keras memenuhi kebutuhan keluarganya.
Mak.. kenapa diam saja. Biasanya kalau aku mengusap wajahnya, emak langsung memegang tanganku dan menciumnya. Mak.. kenapa engkau tinggalkan bapak dan aku sendiri. Kenapa tadi pagi emak tidak bilang kalau akan pergi selamanya.. Andaikan emak tadi pagi istirahat, tidak nekat keluar mungkin aku masih bisa melihat senyumanmu tiap pagi, mak.. aahh.. Mak, kepada siapa aku nanti akan mencurahkan isi hatiku selain kepada bapak. Mak, kenapa engkau tersenyum diam saja. Tak dengarkah tangisan anakmu tersayang ini. Anakmu satu-satunya yang nakal dan tomboy ini.
“Sudahlah, Ten. Berhentilah menangis meratapi kepergian emakmu. Emakmu sudah bahagia di tempat barunya. Lihatlah senyumannya.” Bapak mencoba menenangkan aku.
Kuusap air mataku dan menatap bapak yang duduk dikursi samping jasad emak. Kemudian aku peluk bapak dan menangis di pangkuannya. Tangisku bukannya mereda. Kucurahkan tangisku di pangkuan bapak. Hanya dia satu-satunya sekarang yang menemaniku di rumah ini.
“Kenapa emak cepat meninggalkan kita, pak?” isakku.
“Ini sudah takdir Allah. Jikalau boleh memilih, bapak akan minta kepada Allah biar bapak dulu yang diambil. Tapi, yang namanya kematian tidak dapat diundur dan diwakilkan.” jawab bapak dengan suara bergetar.
Ah, andaikan bisa memilih aku pingin bapak dan emak semuanya menemaniku sampai akhir hayatku.
Lantunan ayat-ayat suci al-Qur’an terdengar sahut-sahutan dibaca oleh para pentakziah disamping jenazah emak. Aku hanya duduk lemas sambil memandang jasad emak yang sudah terbujur kaku. Aku masih tak percaya terhadap apa yang terjadi saat ini. Kenapa emak begitu cepat meninggalkan kami. Kata pak RT tadi, sepulang dari jualan jamu emak tiba-tiba terjatuh tepat di depan rumah. Terkena serangan jantung, kata pak mantri kampungku.
Para tetangga datang silih berganti. Menyolati emak, menyalami bapak dan aku yang hanya terdiam.
“Tan…” Santi sore itu datang kemudian duduk disampingku dan memelukku.
Air mataku belum berhenti mengalir. Ternyata tadi pagi adalah percakapan terakhirku dengan emak. Sebentar lagi emak akan menuju tempat terakhirnya. Aku puas-puasin memandang jasad emak yang tertutup kain jarit. Sesekali aku bangun dan membuka kainnya untuk melihat wajahnya yang masih tersenyum. Kepergian emak yang mendadak ini kembali mengingatkanku bahwa kematian bisa datang dengan tiba-tiba. Tapi, aku saat ini belum siap untuk menghadapi kematian. Aku belum bisa membahagiakan bapak.
Pak modin pun memulai acara pemakaman. Dimulai dengan sambutan dan diakhiri dengan do’a oleh kyai Munawar. Kemudian jenazah emak dibawa ke pemakaman. Aku mengikuti dari belakang ditemani Santi. Sedang bapak tidak ikut karena kondisi bapak yang memang sudah tak bisa berjalan.
Suara tahlil mengiringi perjalanan emak menuju peristirahatan terakhirnya. Santi terus menggenggam erat tanganku. Agar aku tak berlarut-larut dalam kesedihan. Dia selalu membisikkan kata ‘tabah,sabar’.
Aku hanya bisa memandangi ketika penggali kubur mulai menimbun jenazah emak. Mak, semoga kita bertemu di syurga. Batinku selalu mengatakan itu sampai gundukan tanah telah selesai menimbun kubur emak.
Setelah selesai berdo’a. satu persatu orang-orang meninggalkan makam. Aku kemudian mendekat ke kuburan emak, ku pegang nisan kayunya. Butiran-butiran air mata menetes deras membasahi pipiku. Semoga air mata yang terjatuh ini menetesi pipi emak yang sudah terbaring dibawah sana. Biar emak merasakan betapa aku sangat kehilangan dengan kepergiannya.
Kemudian ku rasakan seseorang memegang pundakku. Aku menoleh padanya. O, mas Yusuf. Anak pak Ratmo, orang terkaya di desaku. Dia sangat baik dan perhatian terhadap keluargaku. Pernah ketika itu emak pinjam uang ke mas Yusuf untuk membiayai pengobatan bapak yang saat itu masuk rumah sakit. Tapi, ketika hendak melunasi mas Yusuf tidak mau menerima. Sudah diikhlaskan, katanya.
“Dik, yuk pulang.. Mas antar sampai kerumah.” ajak mas Yusuf.
“Mas Yusuf pulang aja dulu. Inten nanti pulang ama Santi. Inten masih rindu emak.”
“Mas tunggu aja. Sampai dik Inten selesai melepas rindu.” Mas Yusuf tetap ingin menemani aku pulang.
“Tan udah hampir maghrib, nih. Yuk pulang.” Santi mengingatkan aku sambil memegang lengan kananku supaya aku berdiri.
“Mak, Inten pulang dulu ya. Inten akan sering-sering mengunjungi emak kesini.” Kataku sambil perlahan-lahan berdiri.
Akhirnya, kami bertiga meninggalkan pemakaman. Kami berjalan kaki. Mas Yusuf pun mengatakan agar aku sabar, tabah dan meneruskan perjuangan dan cita-cita emak untuk Inten. Memang mas Yusuf ini walaupun anak orang kaya tapi tidak sombong. Ia tidak merasa canggung berkumpul dengan orang-orang miskin semacam keluarga kami. Dia malah sering membantu keluarga miskin di kampung kami yang sedang membutuhkan. Tapi, sayangnya diusianya yang sudah kepala tiga ini mas Yusuf masih menjomblo. Aku juga tak pernah bertanya kenapa mas Yusuf kok belum mau menikah. Padahal banyak cewek yang suka sama dia. Banyak orang tua yang menanyakan kepada mas Yusuf untuk dijadikan suami bagi anak perempuannya. Tapi, mas Yusuf belum mau.
“Inten inget nggak pesan emak yang belum bisa dik Inten lakukan?” tanya mas Yusuf ketika kami hampir sampai di rumahku.
“Emak ingin Inten merawat bapak dengan baik.”
“Selain itu?”
“Emak ingin Inten pintar..”
“Nanti setelah lulus sekolah dik Inten mau kuliah?” tanya mas Yusuf.
“Ndak, mas. Inten ingin meneruskan usaha emak menjual jamu keliling. Ndak punya biaya untuk kuliah mas.” jawabku. Ku menyadari hasil jualan jamu tidak akan mencukupi untuk membiayai aku kuliah. Lebih baik uang hasil jualan jamu aku sisihkan dan aku gunakan untuk merawat bapak. Apalagi tinggal aku saja tulang punggung keluarga.
“Kata teman-teman dik Inten, dik Inten termasuk siswa yang pandai. Eman-eman (sayang) kan kalau dik Inten tidak meneruskan kuliah?”
“Iya, mas. Bettull... Inten selalu mendapat rangking terus. Padahal aku nggak pernah lihat dia belajarnya kapan. Hehe..” sahut Santi.
“Hus.. Diem bisa ndak sih loe..” kataku sambil melirik Santi.
“Oke..oke bos..”
“Seumpama, kalo dik Inten mau kuliah nanti mas yang akan biayai. Kalau dik Inten mau..” ucapan mas Yusuf benar-benar mengagetkan aku. Bagai disambar petir di siang bolong (siang kok bolong ya? Apanya yang bolong..hehe). Benar-benar aku tak menyangka dengan ucapan mas Yusuf barusan. Kenapa mas Yusuf ingin mengkuliahkan aku? Padahal tak ada hubungan keluarga. Ah, mas Yusuf pasti bercanda.
“Nggak. Mas serius kok. Itu juga untuk membantu cita-cita emak dik Inten supaya dik Inten menjadi orang pintar.” terang mas Yusuf.
“Ndak mas. Inten pingin jualan jamu aja.”
“Kan nanti kuliah juga bisa nyambi jualan to?” mas Yusuf masih ingin aku mau kuliah.
“Ta..Tapi kenapa mas Yusuf ingin membiayai kuliahku? Padahal Inten kan bukan saudara mas Yusuf? Bagaimana Inten membalasnya?” aku hanya ingin tahu saja alasan mas Yusuf punya rencana seperti itu.
Mas Yusuf menghentikan langkahnya. Aku pun berhenti. Kelihatannya mas Yusuf ingin mengatakan sesuatu yang serius.
“Karena mas Yusuf ingin dik Inten nanti menjadi istri mas…” bisik mas Yusuf dihadapanku.
Apa?? Mas Yusuf ternyata juga menyimpan rasa suka padaku? Seorang anak penjual jamu miskin ini? Jadi, kebaikan mas Yusuf selama ini karena mas Yusuf suka padaku? Aku tak menyangka sebelumnya. Karena mas Yusuf memang tak menampakkan rasa sukanya padaku. Hanya perhatiannya terhadap keluargaku yang aku rasakan. Karena memang mas Yusuf baik terhadap semua orang. Jadi aku tak berfikir mas Yusuf mencintaiku. Apa yang dia harapkan dariku?
“Bagaimana, dik?” mas Yusuf penasaran terhadap jawabanku. Antara aku mau dan tidak. Seandainya aku tak mau kuliah apakah mas Yusuf tetap akan memperistri aku si penjual jamu ini. Atau kalau aku mau kuliah tapi aku tidak mau menikah dengan mas Yusuf bagaimana. Mulutku kaku mau bicara apa. Selama ini aku juga tidak pernah menyukai mas Yusuf. Karena aku tahu diri. Siapa aku ini. Tak mungkin aku menyukainya. Jarak jurang pemisah kami sangat panjang. Kalau pun aku mau, apa nanti kata orang-orang. Bagaimana dengan keluarga mas Yusuf sendiri. Apa tidak akan malu. Lagian, aku belum berfikir tentang pernikahan.
“Bagaimana, dik?” aku hanya diam. Belum bisa menjawab.
“Emm.. Inten belum bisa menjawab sekarang mas. Saat ini Inten belum mikir kuliah dan pernikahan. Inten masih ingin menyelesaikan sekolah dulu dan merawat bapak.” Jawabku beralasan.
“Ya, udah kalo gitu. Kapan-kapan mas tunggu jawaban dik Inten. Yang penting kalau pingin dik Inten kuliah nanti mas yang biayai.” mas Yusuf tetap memintaku untuk melanjutkan kuliah dengan biaya darinya. Aku sendiri sebenarnya punya keinginan kuliah. Tapi, melihat kondisi keluargaku yang seperti ini, aku tak mungkin melanjutkan kuliah. Mengenai tawaran mas Yusuf yang bersedia membiayai, aku tidak tertarik. Aku lebih suka kuliah dengan biaya sendiri. Itu kalau ada. Aku tak mau merepotkan orang lain. Apalagi mas Yusuf ada keinginan lain terhadapku. Ingin menikahiku.
Akhirnya, aku sampai rumah. Mas Yusuf langsung pamit pulang. Santi malam itu menemaniku. Karena malam ini nanti dirumah akan ada tahlilan. Mendoakan emak. Karena adat di kampung ini orang yang meninggal ditahlili, didoakan selama tujuh malam berturut-turut. Supaya arwah orang yang meninggal diampuni dosa-dosanya oleh Allah SWT. Yang hadir hanya beberapa orang tetangga kami. Setiap malam suguhan yang kami hidangkan cuma kecil-kecilan. Hasil sumbangan tetangga dan tentunya keluarga mas Yusuf.
*****
Malam itu sehabis acara tahlilan, aku meracik jamu yang akan aku jual besok. Untunglah besok tanggal merah. Hari libur nasional. Aku bisa seharian muter jualan jamu. Jamu yang dijual oleh penjual jamu biasanya jamu beras kencur, kunyit asem, sinom, cabe puyang, pahitan, kunci suruh, kudu laos, dan uyup-uyup.
*****
“Inten berangkat dulu ya, pak.” Pamit Inten kepada bapak ketika hendak keluar untuk menjual jamu.
“Ya, hati-hati Ten.” Jawab bapak dengan suara patah-patah.
“Semoga bapak baik-baik aja dirumah. Minta doanya semoga jualan Inten laris hari ini.” kataku sambil mencium tangan bapak.
Sepeda bututku mulai ku kayuh, “Bismillah..” ucapku lirih.
Kadang aku bunyikan bel sepedaku dan berteriak, “jamu..jamu..” berharap ada orang yang menjawab panggilanku ini untuk menikmati jamuku.
Cuaca hari itu cerah dan panas. Sangat mendukung untuk meminum jamu bagi orang yang sibuk beraktifitas berat. Walau hari ini hari libur. Aku harap masih ada orang yang melakukan pekerjaan berat. Atau orang yang ingin menjaga kesehatannya dengan minum jamu. Setiap kali melewati rumah pelanggan aku berhenti di depan rumahnya. Sambil menawarkan jamu. Alhamdulillah kebanyakan pada minum semua. Kalau tidak diminum langsung ya mereka pilih dibungkus plastik.
“Cabe Puyang dan Kunir Asem ya, dik” pak Tukimin meminta jamu Cabe Puyang yang berkhasiat menghilangkan pegal-pegal dibadan. Sedang Kunir Asam bermanfaat untuk menyegarkan tubuh.
“Oke, pak.” pak Tukimin pekerjaan sehari-hari sebagai tukang kayu. Dia sudah menjadi pelanggan jamuku dan emak.
Tak terasa waktu hampir dhuhur. Alhamdulillah dagangan jamuku banyak yang sudah habis. Saatnya pulang. Nanti sore aku keluar lagi jualan jamu di lapangan Lawang Sari. Ada pertandingan sepakbola.
****
“Tan, gue ikut ya?” bujuk Santi ketika aku mau berangkat menuju lapangan.
Langsung kita menuju ke lapangan. Santi mengendarai sepeda sendiri. Walau cewek, Santi suka nonton sepakbola. Klub favoritnya adalah Real Madrid karena pemainnya ganteng-ganteng katanya. Huh, dia lihat sepakbola apa lihat orangnya? Kalau aku tidak suka sama sekali sama sepakbola. Kayak orang kurang kerjaan. Bola satu saja buat rebutan. Katanya pemainnya kaya-kaya. Kan bisa beli bola sendiri ndak usah rebutan. Hehe.
Suasana lapangan sangat ramai. Ternyata hari ini adalah pertandingan final antara desa Mijahan dengan desa Karangtani. Tidak bisa diketahui mana pendukung desa Mijahan dan mana pendukung Desa Karangtani. Karena supporter tidak memakai kaos atribut seperti supporter klub-klub sepakbola. Ya, maklum. Karena ini pertandingan antar desa.
“Kesini juga kau, Tan.” Ifan selalu hadir bila ada pertandingan sepakbola.
“Jelas to..”
“Sory ya kemarin aku gak bisa takziah ke emakmu. Soalnya aku kemarin diajak bapakku keluar kota. Biasa belanja barang-barang toko.” Jelas Ifan yang memang bapaknya adalah pedagang kelontong. Dia hanya anak semata wayang.
“Oh, ndak apa-apa.”
Pertandingan sepakbola tiba saatnya turun minum. Para pemain ada yang menyelonjorkan kakinya di pinggir lapangan. Ada juga yang dipijat oleh kawannya.
“Monggo mas, pak jamune.. Biar teriakannya semakin mantab..”
“Iya, nih jeng. Satu gelas saja. Kasih es ya. Gerah..” pesan salah seorang supporter entah dari desa mana.
Santi yang berada di sampingku ikut teriak-teriak menawarkan jamuku. Aku pun mulai kewalahan melayani pembeli yang semakin banyak mengerubungi aku. Kadang ada juga yang jail mencolek lenganku. Untunglah aku membawa gelas yang cukup. Kalau gelas habis aku tawari mereka jamunya dibungkus plastik.
“Orang mana, jeng?” tanya salah seorang pembeli yang belum pernah aku liat sebelumnya. Orangnya bertampang sangar. Walau badannya tidak kekar. Tapi, tangannya penuh tato.
“Orang sini aja kok bang.” jawabku.
“Boleh abang main kerumah?” pertanyaan yang tak asing bagiku. Karena bukan hanya dia saja yang pingin main ke rumahku. Banyak pembeli yang menanyakan hal-hal semacam itu. Kemudian ngajak keluar. Tapi, aku selalu menolak dengan halus.
“ Boleh aja bang. Ga ada yang melarang. Tapi, aku sering ga di rumah. Setiap pagi sampai sore aku keluar jualan jamu. Kalau siang mau mampir ga apa-apa kok. Ada bapak.. hehe..”
“Ada bapak juga boleh lah. Sekalian nanti abang lamar..hahaha..”
****
Pertandingan babak kedua dimulai.
Orang-orang ramai-ramai berteriak mendukung tim desanya. Ekspresi kecewa mereka
tampakkan dan teriakkan tatkala bola yang ditendang oleh pemain melenceng dari
gawang. Ada yang menggoblok-goblokkan pemain tersebut.
“Guoblok.. tinggal nyutik
gitu aja ga bisa..” kesal salah satu diantara penonton.
Suasana mulai tegang ketika
pertandingan mendekati menit-menit akhir. Belum ada gol yang tercipta. Tapi,
kemudian sorakan gembira datang dari pendukung tim desa Mijahan.
“ Gooolllll……”
“Offside siittt…” teriak pendukung
desa Karang Tani yang tak terima dengan keputusan gol yang diberikan wasit.
Padahal menurut mereka pemain yang mencetak gol dalam posisi offside.
“Wasite dancuukkk..” teriak yang
lain.
Kemudian aksi lempar botol minuman
mineral pun mulai. Wasit yang menjadi sasaran pertama. Tak lama kemudian
penonton yang lainnya ikut melempar apapun yang bisa mereka lempar. Mereka
melempari pemain. Bahkan sesama penonton juga saling melempar. Polisi yang
berjaga-jaga di lokasi tak kuasa menahan para supporter yang mulai rusuh.
Karena personel polisi kalah banyak dengan penonton. Tembakan peringatan polisi
pun tidak mempan. Anjing-anjing galak juga telah disiagakan. Tapi, terlanjur
penonton ngamuk.
“Edyan.. ayo kita pergi, Tan..
Sebelum kita kena masalah. ” ajak Santi.
Aku langsung menyeret sepedaku
menjauhi lapangan. Belum sampai tiga meter sepedaku dihentikan dari belakang.
Ku toleh kebelakang mereka pada mengambil botol-botol jamuku. Kemudian mereka
lempar ke orang-orang yang mereka anggap musuh. Padahal sebagian botol tersebut
masih ada isinya. Lemparan batu, kayu, kerikil membalas lemparan yang lain. Mungkin
ini mirip orang melempar Jumroh. Tapi, tak diketahui mana yang setan.
“ Plethak..”
“Aahh..” untung lemparannya tak
begitu keras. Namun sudah membuat kepala bagian kiriku berdarah dan jalan agak
terhuyung-huyung.
“ Ayo, Tan. Lari..” Santi
menggandeng tanganku dan menariknya.
Kita berdua lari sekencang-kencangnya
mencari tempat aman untuk berlindung. Aku tinggalkan sepedaku di tengah
kerumunan penonton yang saling menyerang. Yang penting aku selamat. Biarlah
sepedaku nasibnya gimana. Begitu juga dengan Santi yang membiarkan sepedanya
terparkir dibawah pohon mangga.
“Astaga. Kepalamu berdarah, Tan?”
“Ndak apa-apa Cuma sedikit. Kita
berlindung ke rumah pak Carik situ.”
Aku dan Santi kemudian menuju rumah pak Carik. Langsung masuk begitu saja. Darurat. Ndak pakai permisi. Untung pintu rumahnya yang tertutup tak terkunci.
Ternyata pak Carik sekeluarga sedang
berada diruang tamu. Sambil melihat keadaan luar dari kaca jendelanya. Mereka
mempersilahkan aku ke dalam.
“Oh, maaf pak. Nuwunsewu
tidak permisi.” Kataku minta maaf karena masuk secara tidak sopan.
“Kamu berdarah, dik?” kata pak
Carik.
“Ndak apa-apa kok, pak. Cuma
sedikit” jawabku.
“Biar ibu carikan air hangat sama
obat merah dulu.” Bu Carik kemudian masuk ke dalam.
“Ada apa tadi, dik kok bisa terjadi
kerusuhan?” tanya pak Carik.
Santi kemudian menjelaskan peristiwa
mulai awal pertandingan sampai akhir.
“O, jadi begitu. Rusuh kok tak ada
hentinya.” Kata pak Carik.
“Iya, pak. Mulai dari pengurus
sepakbola sampai supporter sama-sama suka rusuh.” Santi menjawab dengan geram.
“Halah sok tau kamu.” Kataku.
“Iya. Emang itu kenyataannya. Iya,
kan pak..” Santi membela diri.
“ Andaikan ada keadilan, pasti tak
akan ada kerusuhan. Salah satu contoh ya pertandingan barusan.” Terang pak
Carik.
“Sini, dik. Lukanya ibu bersihin” bu
Carik kemudian membersihkan dan mengobati luka dikepalaku.
“Makasih sebelumnya, ya bu. Saya
malah banyak ngerepotin. Udah masuk tanpa permisi, diobati lagi.”
“Ah, tidak apa-apa. Sudah menjadi
kewajiban kita kan untuk saling menolong.” Sahut pak Carik.
****
Setelah maghrib baru suasana diluar
kembali tenang. Setelah sholat aku dan Santi pamit dan mengucapkan banyak
terima kasih kepada pak Carik. Kemudian aku ajak Santi kembali ke lapangan
melihat nasib sepedaku kayak apa.
“Astaghfirullah… La ilaha
illallooh… Sepedamu, Tan. Tuh, diselokan..” teriak Santi sambil menggerak-gerakkan lengan
kiriku supaya aku melihat di selokan.
Ya Allah, kulihat sepedaku tanpa bronjong.
Entah dimana bronjongnya. Mungkin sudah raib buat main lempar atau
memukul para supporter. Tapi untunglah sepedanya tak apa-apa. Cuma ruji depan
banyak yang bengkong. Mungkin banyak yang menginjak-injak.
TO BE CONTINUED...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar